Menulis Menuju Keabadian

Menulis menuju keabadian. Judul artikel ini mungkin terlalu berlebihan, tapi bagi saya, menulis adalah upaya mengeksiskan diri. Menunjukkan kalau kita ada. Menunjukkan kalau kita berkarya. Menunjukkan bahwa kita ingin memberi warisan kepada anak cucu, meski hanya lewat goresan tulisan.

Menulis adalah upaya memberi. Memberi pengetahuan bagi pembaca. Memberi pengetahuan pula pada diri. Karena sesungguhnya menulis adalah upaya merekam jejak pada memori kita sendiri.

Menulis adalah upaya melepaskan diri dari belenggu. Seorang BJ Habibie, ketika istrinya meninggal, keadaannya sudah seperti orang gila. Dokter-dokter ahli di Jerman memprediksi Habibie akan menjadi gila sepeninggal Ainun. Lalu hadirlah seseorang, yang menawarkan sesuatu pada seorang Habibie.

Baca juga >> Film Habibie Ainun, Potret Cinta Sejati

“Habibie, mana yang hendak kau pilih? Menjadi gila lalu mati, atau menuangkan kegundahanmu ke dalam sebuah tulisan”. Habibie memilih yang kedua. Ia menulis. Lalu apa yang terjadi? Lambat laun kesehatan fisik dan mental Habibie membaik. Lama-lama ia bisa mengatur ritme hidupnya tanpa ada Ainun di sampingnya.

Entah berapa ribu, atau bahkan berapa juta ilmuwan, filsuf, dan penyair yang hidup di masa lalu. Kita masih bisa menikmati karya mereka karena mereka menulis. Mereka memang telah tiada. Namun mereka abadi. Masih ada hingga saat ini, melalui karya yang kita baca malam ini.

Menulis adalah upaya menuju keterkenangan. Upaya menuju masa depan. Masa depan tidak akan pernah tahu darimana ia berasal jikalau orang-orang masa lalu tidak pernah meninggalkan rekam jejak lewat tulisan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *