Batu loncatan di sungai

Batu Loncatan

Alkisah ada sebuah desa yang bernama Desa Sukamiskin. Desa ini sebagian besar masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. Karena mereka hanya bekerja sebagai petani dan tukang penyadap air nira. Di pinggir desa tersebut terdapat sebuah sungai. Sungai tersebut memisahkan desa Sukamiskin dengan desa sebelah yang bernama Desa Sukamakmur. Desa Sukamakmur keadaan ekonominya lebih maju dan masyarakatnya hidup dalam kecukupan.

Di sungai itu tidak ada jembatan satu pun. Padahal arus sungai tersebut sangatlah deras. Sudah sering warga desa mencoba berenang menyeberangi sungai untuk merantau ke desa sebelah namun kebanyakan hanyut dan tidak kembali lagi. Di tengah sungai tersebut terdapat 2 (dua) buah batu, batu besar dan batu kecil. Pernah beberapa warga desa Sukamiskin yang mencoba menyeberangi sungai dengan melompati sungai dengan pijakan batu tersebut, namun semuanya gagal.

Baca juga >> Manusia Hidup Tentu Memiliki Tujuan

Terkisah, hiduplah seorang Pemuda yang rajin bekerja membantu orang tuanya di sawah. Karena setiap hari mencangkul di sawah, memanjat pohon kelapa untuk memetik kelapa, menebang kayu, membaut tubuhnya kekar dan kuat. Ia bisa dengan mencangkul sawah dengan luas 1 hektar hanya dalam waktu 1 hari, dikerjakan sendiri. Memanjat pohon kelapa pun hanya dalam hitungan detik. Semua pekerjaan bisa ia selesaikan dengan cepat dan rapi. Ia menjadi idola semua orang tua di desa Sukamiskin karena sikapnya yang rajin bekerja. 

Namun siapa yang tahu, bahwa sebenarnya si pemuda ini adalah seseorang yang sangat ambisius. Ia sudah mendengar gemerlap kabar mengenai kemakmuran desa Sukamakmur. Ia pun ingin merantau ke sana. Bertahun-tahun ia menyiapkan fisiknya agar menjadi prima seperti sekarang. Akhirnya ia berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi merantau. Ia bukan hendak melewati sungai dengan berenang, namun dengan cara melompati kedua batu tadi. Lalu berangkatlah dia.

Sesampainya di pinggir sungai, ia mengamati kedua buah batu tadi. Yang satu kecil, yang satu besar. Terlihat dari kejauhan bahwa batu kecil kelihatan gompal dan rapuh, karena sering menjadi pijakan sementara. Sementara si batu besar masih kokoh berdiri disana. Si pemuda mengambil ancang-ancang. Ia melompati batu kecil tadi. “Brakkkk….”. Batu kecil tadi pecah semuanya, karena tidak kuat menahan beban si pemuda yang kekar. Akhirnya si pemuda pun hanyut ke dalam sungai dan tidak ditemukan kembali.

Menjadikan sesuatu sebagai batu loncatan mungkin sudah sering kita lakukan, atau kita sering melihat orang lain melakukan hal tersebut. Misalnya saja dalam sebuah perusahaan. Kita melamar kerja di perusahaan A (grade A) namun tidak diterima karena kualifikasinya kurang (misal: pengalaman kerja masih minim), lalu kita melamar kerja di perusahaan B (grade B) yang sebenarnya hanya kita jadikan batu loncatan untuk ke perusahaan A. Pondasi perusahaan B yang masih rapuh ini kita jadikan sebagai batu loncatan. Batu loncatan untuk ke perusahaan A, perusahaan impian kita.

Dapat dibayangkan, ketika di perusahaan B, kemungkinan besar fokus kerja kita hanya untuk mengejar supaya diterima di perusahaan A. Apa yang terjadi? Kita tidak menjadi cinta terhadap perusahaan B. Prestasi pekerjaan kita mungkin saja bagus, namun itu sebenarnya tidak didekasikan untuk perusahaan B, secara tersirat untuk perusahaan A meski yang mendapat manfaat adalah perusahaan B. Kita hanya sekedar mengejar “pengalaman” agar kelak bisa diterima di perusahaan B.

Ketika kelak, pengalaman kita sudah dirasa mencukupi untuk melamar perusahaan A, mungkin kita ingin resign. Keadaan perusahaan B juga sudah mulai maju berkat kontribusi kita. Namun begitu perusahaan B kita tinggalkan, apa yang terjadi? Perusahaan B menjadi oleng karena kehilangan nahkodanya. Perusahaan mulai mengalami kemunduran.

Itukah hal yang kita berikan kepada perusahaan B? Ketika perusahaan memberi tempat kita untuk bertumbuh, setelah kita tumbuh lalu serta merta kita meninggalkannya. Itukah yang disebut dengan kesetiaan? Kalau boleh disebut, itu namanya “Habis Manis Sepah Dibuang”. Ketika kopi yang manis sudah kita minum semua, tersisa ampas kopinya, kita tak mau lagi meminumnya.

Ketika anda saat ini sedang bekerja di perusahaan, jangan jadikan perusahaan ini sebagai batu loncatan. Dapat anda bayangkan, bagaimana perasaan Anda bila dijadikan batu loncatan oleh wanita yang kita sayangi. Wanita yang kita sayangi ini sebenarnya ingin mendekati teman kita, tetapi karena tidak ada cara yang efektif, maka dia mendekatikita, dengan tujuan supaya bisa lebih dekat dengan teman kita. Apakah kita tidak sakit hati dijadikan batu loncatan? Apa kita tidak sakit hati, habis manis sepah dibuang?

0 thoughts on “Batu Loncatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *