kisah tukang roti bakar

Anak Lanang dan Tukang Roti Bakar

Tukang roti bakar itu menunggu di pinggir jalan. Diterangi lampu neon yang cukup jernih. Mobil dan sepeda motor lalu lalang namun tak ada pembeli yang mengantri di tukang roti bakar tersebut.

Pukul 20.00, anak lanang baru selesai mengerjakan tugas kelompok bersama teman-temannya di perpustakaan kota. Tugas menggambar teknik memang cukup menguras waktu dan tenaga. Ia bergegas memacu vespanya dan pulang ke rumah.

Ketika berhenti di lampu merah, perutnya terus saja memanggil minta diisi. Memang sejak dari habis Ashar perutnya sudah mulai keroncongan. Terakhir ia makan waktu Dhuhur tadi.  Ia tak tahan dan menepi ketika melihat sebuah pedagang roti bakar di pinggir jalan.

“Pak, roti bakar satu ya”.
“Rasa apa, Mas?”, tukang roti bakar bertanya.

tukang roti bakar bandung aneka rasa
Tukang roti bakar

Anak lanang masih bingung, ia mengurut jenis-jenis rasa yang ada. Dari yang paling murah –hanya dengan rasa coklat-coklat, hingga yang paling mahal pisang keju-pisang keju. Anak lanang masih menimbang-nimbang antara perutnya yang keroncongan – uang yang ada di kantongnya – dan lidahnya yang ingin sesekali mencicipi roti bakar yang paling mahal.

“Yang coklat-coklat aja deh pak”, anak lanang memilih roti bakar yang paling murah, cuma Rp 7.000,-.
“Iya, Mas”. Si tukang roti menjawab dengan muka datar.

Berapa ya pendapatan bapak ini selama semalam? Untuk membeli bahan roti, selai, gas LPG, margarin, belum lagi dengan kertas pembungkusnya serta ongkos tenaganya. Apalagi harga BBM baru saja naik kemarin. Pasti harga bahan-bahan roti juga naik. Harga sembako akhir-akhir ini juga semakin melangit. Kalau dihitung-hitung mungkin keuntungan si tukang roti ini tidak seberapa.

“Pak, pesan yang rasa pisang coklat – kacang keju saja ya”.
“Iya, Mas”. Kali ini muka si tukang roti agak sumringah.

Muka si bapak berubah, mungkin ia senang saya memilih roti bakar dengan harga yang lebih mahal. Karena tentu saja keuntungannya bertambah. Kalau dipikir-pikir, daripada memberi santunan kepada pengemis di pinggir jalan, mending diberikan kepada  bapak-bapak penjual roti bakar begini.

Bapak tukang roti yang pantang menyerah mencari rezeki. Meski ia tahu keuntungan yang diperolehnya tidak seberapa, belum lagi musim sekarang sedang musim hujan.

street food in asia
Ilustrasi pedagang makanan kaki lima

“Ini Mas, rotinya”.
“Iya, Pak. Jadi totalnya berapa?”.
“Rp 13.000 Mas”.
“Ini Pak, Rp 15.000,- kembaliannya diambil saja”.
“Serius, Mas?”, si tukang roti masih belum percaya.
“Iya, Pak. Ambil saja”.
“Terima kasih, Mas”.

Tukang roti pun tersenyum. Barangkali ia senang, malam ini ia bisa membawa uang lebih untuk keluarganya. Meski pemberiannya tidak seberapa, anak lanang merasa puas telah membuat si tukang roti bakar tersenyum.

Urusan uang jajannya yang tinggal Rp 5.000 di kantong dan mau makan apa besok, itu urusan nanti. Yang penting malam ini bisa membantu orang, itu sudah cukup. Bukankah rezeki sudah dijamin sama Alloh SWT, kenapa harus takut besok tidak bisa makan?

Anak lanang melenggang puas menuju rumahnya. Ia tidak sabar menyantap roti bakar tersebut malam ini. Jam tangan masih menunjukkan pukul 21.00. Malam masih panjang, tugas matematika dan bahasa inggris belum ia kerjakan. Sambil tersenyum, anak lanang bergumam: Roti bakar, kamu kekasihku malam ini.

Baca juga cerita lainnya:

Bisnis bekicot yang menggiurkan

Warung mie ayam Bu Rumi di Khartou, Sudan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *